Khulafaur Rasyidin

Ketika abu bakar menjabat sebagai khalifah ia berkeinginan memperluas wilayah hingga ke syiria yang waktu itu di bawah kekuasaan romawi timur yang dipimpin kaisar heraklius. Untuk keinginan itu beliau menugaskan 4 panglima:

  1. yazid bin abi sufya ditugaskan ke damaskus
  2. abu ubaidah bin jarrah ditugaskan ke homs
  3. amru bin ash di tugaskan ke palestina
  4. surahbil bin hasanah ditugaskan ke yordania

pada masa umaar bin khattab pengembangan islam terus di lakukan. Kemenangan pada perang yanmurk masa abu bakar membuka jalan bagi umar bin khattab meraih kemenangan atas tentara roma di ajnadar pada tahun 16 H/636 M dan beberapa kota di pesisir syiria dan palestina seperti jaffa, gizar, romla, typus, uka, askalon dan beirut. Juga melanjutkan pengembangan ke persia di bawah pimpinan saad bin abi waqash.

Khalifah umar juga mengembangkan islam ke mesir di bawah pimpinan amru bin ash dengan pasukan 4000 orang berhasil menghancurkan gerbang al arisy, al farma, bilbis, tendonius, ain syams dan iskandariah.

Pada masa khalifah utsman bin affan melakukan perluasan wilayah ke azerbaijan, tabaristan, armenia, persia, cyprus, rodesia, tunisia, dan nubia.

Sering terjadinya unsur kekeluagaan di pemerintahan, terjadi ketidaksenangan masyarakat islam. Akhirnya terjadilah kerusuhan dan mengakibatkan kematiannya pada tahun 35H/656M.

Pada masa khalifah ali timbul beberapa gerakan yang menentang pemerintahannya. Akibatnya timbul beberapa golongan antara lain:

  1. golongan ali
  2. golongan muawiyah, yaitu orang orang yang menghendaki muawiyah menjadi khalifah dengan dalih menuntut pengusutan kasus pembunuhan utsman
  3. golongan aisyah, thalhah dan zubair.
Karena hal ini menyebabkan terjadinya perang jamal (ali vs aisyah), perang shiffin (ali vs muawiyah).

Sejarah Khawarij

Pendahuluan

Kematian khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan secara tragis melalui tangan para perusuh tahun 35 H telah menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satu di antaranya adalah perang Shiffien, 2 tahun setelah ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at jadi khalifah menggantikan ‘Utsman.

Perang besar antara kubu ‘Ali dengan kubu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang secara ekstrem selalu bertentangan yaitu Al-Khawarij[1] dan Syi’ah. Misalnya Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah ‘Ali setelah peristiwa , sementara Syi’ah belakangan mengkultuskan ‘Ali demikian rupa sehingga seolah-olah ‘Ali adalah manusia tanpa cacat.[2] Sekalipun semula kedua aliran tersebut bersifat politik tapi kemudian untuk mendukung pandangan dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama (baca: teologi)

Makalah ini tidak akan membahas kedua aliran ekstrem tersebut, tapi menfokuskan pembahasan pada aliran Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem. Pertanyaan yang ingin penulis teliti jawabannya adalah latar belakang apa yang menyebabkan Khawarij tidak saja mempunyai pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem tapi juga berperilaku keras bahkan cenderung kejam. Mereka, kata Abu Zahra, suka menyabung nyawa dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat itu.[3] Ironisnya mereka sangat kejam dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan pendapat sesama Muslim, tapi sangat toleran dengan Ahlul Kitab.

Tapi sebelum menganalisis masalah di atas penulis akan deskripsikan terlebih dahulu asal usul dan perkembangan Khawarij, dengan tekanan pada asal usul, untuk dapat melihat secara jelas bagaimana persoalan politk diberi legitimasi teologi di samping alasan teknis terbatasnya halaman untuk berbicara panjang lebar tentang perkembangan Khawarij masa-masa selanjutnya. Sedangkan mengenai doktrin pemikiran politik dan teologi Khawarij itu sendiri tidak penulis bicarakan secara khusus, tetapi hanya beberapa doktrin diungkapkan dalam perjalanan bahasan kesejarahan tentang perkembangan pemikiran itu sendiri. Sikap itu diambil karena makalah ini memakai pendekatan historis, bukan doktriner.

Asal-Usul dan Perkembangan Khawarij

Pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Amir al-Mu’minin ‘Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan ‘Utsman, ‘Ali mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan ‘Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian ‘Ustman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.

Sebelum peperangan meletus, ‘Ali sudah mengirim Jarir ibn Abdillah al-Bajuli untuk berunding dengan Mu’awiyah.[4] Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh ‘Ali. Mu’awiyah menuntut dua hal: (1) ekstradisi dan penghukuman terhadap para pelaku pembunuhan Amir al Mu’minin ‘Utsman ibn ‘Afan; dan (2) pengunduran diri ‘Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.[5]

Berbeda dengan Mu’awiyah yang secara pribadi punya alasan untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman, penduduk Syria yang mendukungnya memerangi ‘Ali tidaklah dapat dikatakan juga punya motivasi yang sama. Kalau memang mereka siap mati membela darah ‘Utsman, hal itu tentu telah mereka lakukan sejak awal-awal begitu ‘Utsman dibunuh. Tetapi setelah ‘Ali mencapai kemenangan dalam perang Jamal, penduduk Syria melibatkan diri dalam menentang ‘Ali karena mereka menghawatirkan campur tangan ‘Ali dalam urusan dalam negeri mereka sediri di Syria. Demi untuk melemahkan kedudukan ‘Ali penduduk Syria menjadikan pembelaan terhadap ‘Utsman sebagai lambang perjuangan menentang ‘Ali.[6]

Sekali lagi sebelum peperangan benar-benar meletus ‘Ali mengirim kembali juru runding yang terdiri dari Syabats ibn ‘Aibi al-Yarbu’i at-Tamimi, ‘Ali ibn Hatim at-Tha’i, Yazid ibn Qais al-Arhabi, dan Ziyad ibn Khasafah at-Taimi at-Tamimi, untuk merunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan inipun juga berakhir dengan kegagalan.[7]

Makalah ini tidak akan menguraikan tentang perang Shiffien secara rinci, yang penting diungkap di sini dalam kaitannya dengan kelahiran aliran Khawarij adalah ide ‘Amru ibn ‘Ash dari pihak Mu’awiyah untuk memecah belah pasukan ‘Ali dengan mengangkat lembaran mushhaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai isyarat mohon perdamaian dengan bertahkim kepada Kitab Suci Al-Qur’an. Tiga Sejarawan Muslim besar, At-Thabari, Ibnu al-Atsir dan Ibnu Katsir menyebutkan peristiwa itu dalam kitab mereka masing-masing.[8] Menurut ‘Amru, tawaran bertahkim kepada Al-Qur’an itu akan diterima oleh sebagian pengikut ‘Ali dan akan ditolak oleh yang lain. Dengan demikian mereka pecah. Jika sekiranya mereka sepakat toh juga tidak ada ruginya bagi Mu’awiyah karena paling kurang sampai waktu tertentu peperangan dapat berhenti.[9]

Benar saja, segera saja sebagian pengikut ‘Ali menyerukan untuk menerima tawaran Mu’awiyah. ‘Ali sendiri menolaknya, karena menurut dia itu hanyalah bagian dari taktik perang Mu’awiyah. ‘Ali megatakan; “’Ibâdallah, teruslah berada dalam kebenaran dan keyakinan kalian. Teruslah memerangi musuh, karena Mu’awiyah, ‘Amru, Ibn Abi Mu’ith, Habib, Ibn Abi Sarah dan Dhahhak bukanlah Asshâb ad-dîn dan bukan pula Ashhâb Al-Qur’an. Saya lebih mengenal mereka dibandingkan kalian. Saya telah bergaul dengan mereka sejak kecil sampai dewasa, mereka adalah anak-anak dan laki-laki dewasa yang jelek. Mereka minta bertahkim kapada kitab Allah, pada hal, demi Allah, mereka mengangkat mushhaf itu hanyalah untuk tipu muslihat belaka.” Mendengar seruan ‘Ali mereka menjawab: “Mereka mengajak kita kembali kepada Kitabullah, kenapa kita tidak menerimanya?” ‘Ali kembali menjawab: “Saya memerangi mereka supaya mereka tunduk kepada hukum kitab Allah; karena mereka telah menentang perintah Allah dan melupakan janji mereka dengan Allah, serta mengabaikan kitab suci itu.” Kemudian Mis’ar ibn Fadki at-Tamimi, Zaid ibn Hushain ath-Thai dan beberapa tokoh lain dari kelompok Al-Qura’-- salah satu unsur koalisi pasukan ‘Ali--mendesak, bahkan mengancam akan memperlakukan ‘Ali seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap ‘Utsman.[10]

Setelah ‘Ali terpaksa mengikuti kehendak mereka, Al-Asy’asts ibn Qais menawarkan diri untuk menemui Mu’awiyah dan menanyakan apa yang diinginkannya dengan mengangkat mushhaf seperti itu. ‘Ali menyetujuinya. Mu’awiyah mengatakan: “Mari kita kembali kepada apa yang diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an. Kalian utuslah seseorang yang kalian sukai dan kami pun akan mengutus seseorang yang kami sukai. Biarkan mereka berdua berunding berdasarkan Kitabullah, kemudian kita ikuti apa yang mereka sepakati”. Dengan segera usulan Mu’awiyah itu disetujui sepenuhnya oleh pasukannya sendiri dan mereka sepakat mengutus ‘Amru ibn ‘Ash sebagai juru runding. Sementara dari pihak ‘Ali sekali lagi kelompok yang tadi memaksa ‘Ali menerima perundingan memaksakan kehendak mereka kepada ‘Ali. Mereka menunjuk Abu Musa al-Ays’ari, sementara ‘Ali menginginkan ‘Abdullah ibn ‘Abbas atau Malik al-Asytar. Sekali lagi ‘Ali terpaksa mengalah kepada keinginan mereka.[11]

Abu Musa adalah tokoh yang sudah terlibat dalam fase-fase pertama penaklukkan Iraq baik sebagai jenderal pasukan maupun gubernur Kufah dan Bashrah. Dia juga pernah menentang kebijakan ’Utsman dan dipilih oleh kelompok sebagai gubernur Kufah ketika mengusir gubernur tunjukan ‘Utsman, Sa’id ibn ‘Ash. Menurut Shaban, Abu Musa punya hubungan politik yang lama tidak tergoyahkan dengan kelompok .[12] Sebaliknya ‘Ali meragukan loyalitas Abu Musa karena ‘Ali pernah memecat Abu Musa dari jabatannya karena kurang aktf dan loyal kepadanya.[13] Perlu dicatat bahwa pada waktu itu Abu Musa tidak ada dalam pasukan, karena dia memencilkan diri ke tanah Hijaz. Waktu utusan memberi tahu bahwa dia telah dipilih sepakai Hakam, Abu Musa berkomentar: Innâ lillahi wa innâ illaihi râji’un.[14] Tidak jelas bagaimana menafsirkan komentar Abu Musa seperti itu. Yang jelas baik Abu Musa maupun ‘Amru adalah dua tokoh yang sangat mengenal daerah masing-masing. Abu Musa sangat kenal daerah Iraq dan ‘Amru sangat kenal dengan Syiria.

Perundingan di Daumah al-Jandal, Azruh itu berjalan cukup lama, sekitar enam bulan, mulai Shafar sampai Ramadhan tahun 37 H. tidak banyak yang dapat diketahui tentang apa saja yang dibicarakan dalam perundingan sehingga memerlukan waktu yang lama. Kalaupun ada masalah yang alot dibicarakan juga tidak jelas masalah apa itu. Di antara yang terungkap adalah keberhasilan ‘Amru meyakinkan Abu Musa bahwa Mu’awiyah sebagai wali ‘Utsman paling berhak dibanding siapapun untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman. Waktu ‘Amru membicarakan keterlibatan ‘Ali dalam pembunuhan ‘Utsman, Abu Musa tidak mau melayani. Dia mengajak ‘Amru membicarakan hal yang bisa menyatukan umat Muhammad. Kata Abu Musa : “Anda tahu, penduduk Iraq sama sekali tidak menyukai Mu’awiyah, dan penduduk Syiria tidak menyukai ‘Ali. Bukankah lebih baik kita copot keduanya dan kita angkat Abdullah ibn ‘Umar?”. ‘Amru segera menyetujui pendapat Abu Musa dan mengusulkan beberapa nama, tapi Abu Musa hanya menyetujui Ibnu ‘Umar. Karena tidak tercapai kesepakatan siapa yang akan diangkat menjadi Khaifah, akhirnya disepakati menyerahkannya kepada permusyawaratan kaum Muslim.[15]

Beberapa sumber kemudian menyebutkan kedua juru runding itu mengumumkan hasil kesepakatan mereka. Yang duluan bicara adalah Abu Musa, baru kemudian ‘Amru. Tapi kemudian ’Amru menghianati Abu Musa dengan secara sepihak mengukuhkan Mu’awiyah menjadi Khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu seperti yang disepakati. Harun Nasution yang terkenal berpikiri kritis juga meyakini kelicikan bahkan kecurangan ‘Amru tersebut. Tulisnya : “…Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, ‘Amru ibn ‘Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan ‘Ali yang telah diumumkan al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah”.[16]

Dalam hal ini penulis sepakat dengan Hasan Ibrahim Hasan yang meragukan kebenaran kisah tersebut. Menurut dia, mengutip Al-Mas’udi, kedua juru runding tersebut tidak pernah berpidato menyampaikan hasil perundingan mereka. Mereka memang sepakat mencopot ‘Ali dan Mu’awiyah dan menyerahkan kepada permusyawaratan kaum Muslimin untuk memilih Khalifah baru. Bahkan Hasan menyetakan para sejarawan telah menzalimi Abu Musa dengan menuduh kalah cerdik dari ‘Amru. Kemungkinan besar pelecehan terhadap kemampuan diplomasi Abu Musa itu, menurut Hasan, karena pendapat Abu Musa dalam perundingan itu tidak sejalan dengan pendapat ‘Ali dan Bani Hasyim walaupun sejalan dengan pendapat sebagian besar kaum Muslimin waktu itu.[17]

Kenapa kemudian kedudukan Mu’awiyah semakin kokoh di Syiria, bukan karena ‘Amru telah membai’ahnya, tapi karena memang’Ali tidak lagi punya kekuatan yang cukup untuk menggempur Mu’awiyah karena kemudian pasukan koalisinya menjadi lemah sesudah perang Shiffien, apalagi nanti setelah kelompok besar memisahkan diri yang kemudian dikenal dangan kelompok Khawarij. Sementara pendukung Mu’awiyah semakin solid, apalagi Mu’awiyah sudah mejadi Gubernur Syria semenjak zaman ‘Umar.[18]

Sekarang kita kembali pada kelompok Qurrâ’. Setelah perundingan selesai mereka berbalik menentang Tahkîm, padahal tadinya mereka juga mendesak ‘Ali menerima Tahkîm. Sekarang mereka kemukakan alasan-alasan yang bersifat teologis, untuk mendukung pandangan dan sikap polotik mereka. Menurut mereka, Tahkîm salah karena hukum Allah tentang pertikaian mereka sudah jelas. Mereka yakin kubu ‘Ali lah (dalam konflik dengan kubu Mu’awiyah) yang berada di pihak yang benar. Kubu ‘Ali yang beriman. Tahkîm berarti meragukan kebenaran masing-masing pihak. Hal itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Mereka teriakkan Lâ hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Mereka meminta ‘Ali mengaku salah, bahkan megakui bahwa dia telah kafir kerena menerima Tahkîm. Mereka desak ‘Ali supaya membatalkan hasil kesepakatan Tahkîm. Kalau tuntutan mereka dipenuhi mereka akan kembali berperang di pihak ‘Ali. Tentu saja ‘Ali menolak. Kesepakatan tidak boleh dilanggar. Agama memerintahkan kita untuk menepati janji. Kalau ‘Ali mungkir janji koalisinya akan semakin pecah. Lagipula bagaimana mungkin dia mau mengakui dirinya telah kafir, padahal dia tidak pernah berbuat musyrik semenjak beriman.[19]

Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi ‘Ali, akhirnya mereka meninggalkan kamp ‘Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan Al-Harûriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi sediri dan memilih Abdullah ibn Wahab ar-Rasibi dari Banu ‘Azd sebagai pemimpin mereka.[20] Karena mereka keluar dari kubu ‘Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan al-Khawârij, bentuk jama’ dari Khâriji (yang keluar).

Menurut Syahrastani, yang disebut Khârij, adalah siapa saja yang keluar dari (barisan) imam yang hak yang telah disepakati oleh jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat di bawah pimpinan al-Aimmah ar-Râsyiddîn atau pada masa tabi’in atau pada masa imam mana pun di setiap masa.[21] Secara etimologis Syahrastani benar, tapi secara terminologi apalagi secara historis nama Khawarij hanya diberikan kepada kelompok yang keluar dari kubu ‘Ali seperti yang disebut di atas, dan disebut juga al-Harûriyah karena mereka pergi memisahkan diri ke Harura. Tapi dibanding dengan nama-nama lain[22] yang dipanggilkan kepada mereka maka nama Khawarij lah yang paling umum bisa dipakaikan untuk semua kelompok pecahan Khawarij, sebab dalam perkembangan sekanjutnya kita akan lihat kelompok ini paling mudah memisahkan diri dari kelompok awalnya karena perbedaan pendapat yang kadang-kadang tidak prinsip. Khurûj sudah merupakan dustûr mereka.[23] Dalam bahasa Inggris Khawarij ditulis Kharijites dan dialihbahasakan menjadi Seceders, Rebels.[24]

Semakin lama kelompok yang meisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. ‘Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan ‘Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula ‘Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka. Di antara yang menjadi korban adalah ‘Abdullah ibn Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi. Abu Zahra mengutip kisah kematian putera Khabbab dari buku Al-Kâmil karya Al-Mubarrad sebagai berikut :

“Sekelompok Khawarij berjumpa pada suatu saat dengan seorang Muslim dan seorang Nasrani. Mereka membunuh si Muslim tetapi berpesan kepada si Nasrani agar melakukan kebaikan sambil berseru: “Jagalah janji Nabi kalian!” Kemudian ketika itu ‘Abdullah ibn Khabab sedang membawa mushaf di pundaknya bersama isterinya yang sdang hamil, berjalan menjumpai mereka. Lentas mereka menegur ‘Adullah, dengan mengatakan, “Sesungguhnya apa yang kamu bawa di pundakmu itu menyuruh kami untuk membunuhmu… Bagaimana menurut pendapatmu mengenai Abu Bakar dan ‘Umar?” tanya mereka. ‘Abdullah menjawab, “Aku memuji kedua beliau itu.” Mereka bertanya pula, “Bagaimana pendapatmu mengenai ‘Ali sebelum Tahkîm dan mengenai ‘Utsman dalam kekhalifahannya selama enam tahun?” ‘Abdullah menjawab, “Aku juga memuji kedua beliau itu” Lalu mereka masih bertanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai Tahkîm?” Abdullah menjawab, “Sesungguhnya ‘Ali itu lebih tahu tentang Kitab Allah dari pada kalian semua, lebih taqwa dari kalian dalam beragama, dan beliau lebih mengena pandangannya daripada kalian semua.” Maka mereka mengatakan, “Kamu ini tidak mengikuti hidayah, tapi kamu hanya mengikuti mereka atas nama mereka.” Akhirnya mereka menyeret Abdullah ketepi sungai dan menyembelihnya di sana. Setelah itu mereka tawar menawar dengan orang laki-laki Nasrani tentangn pohon kurma. Orang Nasrani itu megatakan, “Ambil saja, pohon kurma itu milik kalian!” Mereka menjawab, “Demi Tuhan, kami tidak mau membawa kurma ini kecuali dengan harga.” Orang Nasrani itu lalu berkata dengan keheranan, “Ini benar-benar aneh, kalian berani membunuh orang seperti ‘Abdullah ibn Khabab, tetapi kalian tidak mau menerima kurma kami ini kecuali dengan harga”.[25]

‘Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. ‘Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syria, atau pulang ke kampung masig-masing. Sebagian memenuhi anjuran ‘Ali; ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka menyerang pasukan ‘Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.[26]

Sejak peristiwa Nahrawan itu lah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. ‘Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh ‘Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik ‘Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan ‘Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras ‘Ali untuk menghadapinya. Mu’awiyah pun, yang setelah ‘Ali wafat menjabat kedudukan Amirul Mu’minin dan terkenal hilm (lemah lembut dan ‘arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.[27]

Karena keterbatasan halaman makalah ini tidak akan medeskripsikan lebih jauh perkembangan Khawarij sampai masa-masa selanjutnya. Cuma yang perlu dicatat adalah bahwa dalam perkembangan selanjutnya Khawarij terpecah menjadi beberapa kelompok, karena, seperti sudah diungkap di atas, sudah menjadi dustûr mereka kalau berbeda pendapat segera memisahkan diri membentuk kelompok sendiri. Para sejarawan berbeda pendapat tentang jumlah kelompok-kelompok pecahan Khawarij, tapi mereka sepakat jumlahnya tidak kurang dari dua puluh kelompok, sebagian ushûl dan yang lain furû’. Yang termasuk ushûl menurut Abu Hasan Al-Asy’ary adalah : Al-Azariqah, al-Ibadiyah, an-Najdiyah dan ash-Shufriyah. Sementara menurut Syahrastani yang masuk ushûl adalah al-Muhakkimah al-Ula, al-Azariqah, an-Najdat, al-Baihasiyah, al-‘Ajaridah, ats-Tsa’Alibah, al-Ibadhiyah dan ash-Shufriyah. Yang termasuk furû’ banyak sekali, tidak relevan kita sebutkan semuanya dalam makalah ini, di antaranya adalah al-‘Athawiyah, al-Fadikiyah dan al-‘Ajaridah.[28]

Latar Belakang Ekstremitas Khawarij.

Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai ‘Ali ibn Abi Thalib salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali menjadi kafir. Mereka memaksa ‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali hanya kafir atau musyrik.[29]

Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh ‘Ali Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah).[30] Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka.

Yang menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al-- Qurrâ’, sebutan mereka sebelum menjadi Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial politik. Penulis kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar belakang ekstremitas Khawarij.

Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University, Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih tepat diartikan sebagai ‘para penetap’ walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti para penghafal Al-Qur’an.[31]

Uraian yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah al-Qurrâ’ ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan di Exterter University, England dengan judul bahasa Inggris The Origins of The Khawarij. Menurut Yahaya para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary dan Ibn ‘Atsam cenderung menafsirkan al-Qurrâ’ sebagai para penghafal Al-Qur’an.[32] Kekeliruan itu mungkin muncul terpegaruh dengan ucapan Sa’idi ibn ’Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di Kufah yang megatakan; “Ahabbukum ilayya akramukum li kitâbillah.[33]

Istilah-istilah lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama yang melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrâf, wujûh, sufahâ, rijâl min qurâ’ ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jama’ah ahli al kufah dan lain-lain yang tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal Al-Qur’an. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-Qurra’ itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrâf, orang-orang kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman.[34]

Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan haus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk kecil. Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.[35]

Khawarij tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman ibn ‘Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap ‘Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi dikelola oleh kelompok Qurrâ’, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini. ‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain ‘Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurrâ’ dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan ‘Utsman itu kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka. Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh ‘Utsman--memasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai Gubernur dan memaksa ‘Utsman mengakui tindakan kekerasan ini.[36]

Penutup

Dari uraian di atas penulis dapat megambil kesimpulan bahwa pemikiran politik dan teologi serta sikap ekstrem Khawarij lahir terutama disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural mereka sebagai orang-orang Arab Badawi yang punya watak keras, kasar dan berani sehingga mereka tidak gentar mati walaupun untuk hal-hal yang tidak perlu. Sebutan Qurrâ’ bagi mereka sebelum dikenal dengan nama Khawarij tidaklah menunjukkan arti para penghafal Al-Quran, tapi menunjukkan arti mereka sebagai orang-orang desa.

Dari sejarah Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan ekstremitas tidak hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan.

KEPUSTAKAAN

Amin, Ahmad, Fajrul Islam, Cairo : Dar al-Kutub, cet. XI, 1975.

Al-Asy’ari, Abu Al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il, Maqalât al-Islamiyîn wa Ikhtilâfu al-îMushalln, Cairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, cet. II, 1969.

Abu Zahrah, M, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA, cet.I, 1991.

Ghazaly, ‘Ali Musthafa, Târîkh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah ‘Ilmi al-Kalâm ‘Inda al-Muslimîn, Cairo, Maktabah Muhammad ‘Ali Shabij wa Auladih, cet. III. 1958.

Grunebaum, G. E. von, Clasical Islam A History 600 A.D.-1258 A.D., Chicago: Aldine Publising Company, cet. I, 1970.

Hasan, Ibrahim Hasan, Târîkh al-Isâlm as-Siyâsi wa ad-diny wa ats-Tsaqafi wa al- Ijtimâ’iy, Cairo: Maktababah an-Nahdhah al-Misriyah, cet. IV, tahun 1957.

Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi at- Târîkh , jilid III, Beirut: Darus Sader, 1965.

Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wan Nihâyah, juz VII, Lebanon : Darul Kutub al-‘Ilmiyah. Tt.

Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: Jakarta, UI Press, cet.V, 1986.

Shaban, M.A., Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-750, terjemahan Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.

Shiddiqi, Nouruzzaman, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta, PLP2M, cet, I, 1985.

Asy-Syahrastani, Muhammad Abdul Karim, Al-Milal wan-Nihal, Beirut: Darul Fikr, tt.

Ath-Thabari, Muhammad ibn Jarir, Târîkh al-Umam wal-Mulk, juz V, Lebanon: Darul Fikr, 1979.

Yahya, Mahayudi Haji, Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11- 78 H/632 – 698 M), Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, cet. II, 1986.



[1] Selanjutnya disebut Khawarij, tanpa alif lam (al)

[2] Lebih lanjut tentang bagaimana berhadap-hadapannya pemikiran Khawarij dan Syi’ah baik dalam politik maupun agama, baca Nourouzzaman Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta: PLP2M, 1985) terutama bagian penutup hal. 84 – 93.

[3] M. Abu Zahra, Sejarah Alran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Shobahussurur (Gontor : PSIA, 1991) hal 77.

[4] Mahayuddin Haji Yahaya, Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11 – 78 H/632 – 698 M) (Kualalumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986) hal. 108.

[5] Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij…, Hal. 36.

[6] Yahaya, Sejarah Awal…, hal. 110 -111. Sementara itu Shaban menganalisis bahwa Syria menentang ‘Ali karena tidak ingin kehilangan hak istimewa yang mereka dapatkan pada zaman ‘Umar dan ‘Utsman yaitu pembebasan Syria dari gelombang imigrasi sebagaimana yang melanda ‘Iraq. Menurut ‘Ali, Syria tidak perlu mendapatkan hak istimewa seperti itu. Memang lucu, ‘Iraq dilanda imigrasi yang tidak terkendalikan, sementara Syria tidak dapat dimasuki. Baca M.A. Shaban, Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600 – 750, diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Machnun Husein (Jakarta : Rajawali Pers, 1993) hal 106.

[7] Ibid, Hal. 112

[8] Muhammad ibn Jarir Ath-Tahabari, Târîkh al-Umam wa al-Muluk (Beirut : Darul Fikir : 1979), III/6: 27 ; Ibn Al-Atsîr, a-Kâmil fi’ t-Târikh (Beirut : Dar as-Shadr, 1965) III: 316; Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an Nihâyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt) VII/7: 284.

[9] Ibn al-Katsir, Al-Kâmil fi ‘t-Târîkh…, hal. 316.

[10] Ibid, hal. 317

[11] Ibid, hal. 318â

[12] M. A. Shaban, Sejarah Islam…, hal. 108.

[13] Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij…, hal. 38

[14] Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an Nihâyah…, IV/7: 287.

[15] Hasan Ibrahim Hasan, Târîkh al-Islâm, as-Siyâsy wa ad dîny wa ats-Tsaqaiy wal-Ijtimâ’iy (Cairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, 1957) hal. 373.

[16] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah,Analisa Perbandingan (Jakarta : UI Press, 1986) hal.5.

[17] Hasan, Tarikh al-Islam…, hal. 374 – 375.

[18] Ibid, hal. 375

[19] Ahmad Amin, Fajr al-Islâm (Cairo : Dar al-Kutub, 1975) hal. 256.

[20] Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij…, hal. 39.

[21] Muhammad Abd al-Karim asy-Syahrastani, Al-Milal wan Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal. 144.

[22] Di samping Al-Khawarij dan Al-Haruriyah, mereka juga dikenal dengan nama-nama : Asy-Syurah (karena mengatakan kami telah menjual diri untuk taat kepada Allah, tampaknya mereka ambilkan dari Q.S.2:207: “Ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan Allah”, Al-Mariqah (karena mereka lepas dari agama seperti lepasnya anak panah dari busurnya, tapi mereka menolak nama ini karena menurut mereka, merekalah orang-orang yang beriman, sedangkan para penentangnya lah yang kafir dan musyrik) dan Al-Muhakkimah (karena mereka bersemboyankan La hukma illa lillah). ‘Ali Mushthafa Al-Ghazaly, Târîkh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah ‘Ilmi ‘l-Kalâm inda al-Muslimîn (Cairo: Maktabah Muhammad ‘Ali Shabij wa Aulâduh, 1958) hal. 246 – 265.

[23] Ibid, hal 265.

[24] G.E. Von Grunebaum, Cassical Islam, A History 600 A.D.-1258 A.D., diterjemahkan dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris oleh Katherine Watson (Chicago : Aldine Publising Compay, 1970) hal. 60.

[25] Abu Zahra, Sejarah Aliran-aliran…, hal. 78.

[26] Baca Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij…, hal. 39 – 41.

[27] Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij…, hal. 41.

[28] Mushthafa Al-Ghazaly, Târîkh al-Firaq…, hal.266 – 271.

[29] Menurut Abu al-Hasan al-Asy’ary Khawarij sepakat mengkafirkan ‘Ali tapi berbeda pendapat tentang kemusyrikannya. Lihat Abu Al-Hasan Al-Asy’ary, Maqâlat al-Islamiyîn wa Ikhtilâf al-Mushallîn, (Cairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, 1969) I : 167.

[30] Mushtafa Al-Ghazaly, Târikh al-Firaq…, hal. 37.

[31] Shiddiqi, Syiah dan Khawari…j, hal. 37.

[32] Yahaya, Sejarah Awa,… hal. 66.

[33] Ibid.

[34] Ibid.

[35] Harun Nasution, Teologi Islam…, hal. 13.

[36] Shaban, Sejarah Islam…, hal. 96 -97.

Kerajaan Ottoman
Kerajaan Ottoman atau Kesultanan Turki Utsmani didirikan oleh Bani Utsman, yang selama 2 abad kekuasaannya, telah dipimpin 8 sultan, sebelum akhirnya berekspansi ke sebagian negeri Arab. Turki Utsmani sama dengan pendahulunya, seperti Turki Seljuk dan kabilah Hun. Mereka berasal dari keturunan Mongol atau Thurani, yang merambah ke Eropa di abad ke-5 Masehi. Mereka lahir dan dibesarkan di Asia Tengah dan Utara. Etnis yang sama juga dimiliki bangsa Bulgaria, yang merambah ke Eropa Timur, dan menetap di sana pada abad ke-7 dan 9 Masehi. Turki Utsmani adalah etnis Asia terakhir yang merambah dan mendiami Eropa, bahkan merupakan negara Mongol terpenting dan terkuat dalam sejarah.

Sejarah Awal dan Masa Kejayaan

Pada pertengahan abad ke-13, Turki Utsmani merupakan salah satu kabilah kecil di Asia Tengah di bawah pimpinan Ertoghul, kepala suku Turki Utsmani - menyusuri Asia Tengah, dekat Ankara. Pimpinan kabilah kecil ini berpartisipasi dalam perang antara kekaisaran Romawi dan Dinasti Seljuk Rum yang berpusat di Iconium dipimpin Sultan 'Alauddin, dan akhirnya Ertoghul dan sekutunya menang perang. Kabilah kecil dan Ertoghul inilah yang menjadi cikal bakal Turki Utsmani. Ialah bapak Utsman, yang namanya dipakai sebagai nama negara yang dibangunnya (dalam tulisan Arab ʿUthmān, عُثمَان).

Setelah Ertoghul meninggal 1288, putranya Utsmanlah yang menggantikannya. Ia dikenal sebagai pemimpin yang berani mengalahkan kabilah dan trah yang berdekatan. Inilah yang mendorong Sultan 'Alauddin mengangkatnya sebagai pemimpin dan membuatnya jadi penguasa berdiri sendiri di wilayah yang ditaklukkannya.

Tahun 1300 Mongol menyerang dan menghancurkan Kesultanan Seljuk di Asia Kecil. Sultan 'Alauddinpun meninggal dan setiap etnis bercerai berai, termasuk Utsman. Dari sanalah kekuasaannya berkembang sampai ia mendengar penaklukan Bursa, saat hendak meninggal. Utsman memberi perhatian besar pada strukturisasi tentara dan pemerintahan dan namanya dijadikan nama negara yang didirikannya.

Tahun 1326 Utsman meninggal dan digantikan putranya Ourkhan, yang berhasil mengambil alih Bursa, dan menjadikannya ibukota negara baru ini. Dengan ini ia telah mendekati ambisinya untuk menduduki Konstantinopel, ibukota Bizantium.

Sebelum perang antarpemerintahan berlangsung — yang satu negara muda, kuat dan berambisi mengembangkan kekuasaannya, yang satunya lagi negara tua yang merosot — Ourkhan menduduki Izmir lebih dulu. Ia melihat pentingnya pembenahan, yang kelak berpengaruh bagi kemenangan Turki Utsmani, pertama di Asia Kecil lalu Eropa. Ia menyerang dan merampas Nicomedia dan Nicea serta negeri Asia dan Bizantium lainnya. Selama 20 tahun, ia mengokohkan pilar pemerintahannya, memperbaiki urusan dalam negara dan membentuk angkatan bersenjata baru, yang disebut Yennisari, yang dalam waktu lama menjadi penopang kekuatan kesultanan, dalam perang dan penaklukan.

Sultan berikutnya adalah Murad I (1359-1389), ia merebut Adranah (1361), Sofia (1383), dan pada perang Kosovo 1389 mengalahkan Serbia. Ia diganti Bajazet I (1389-1403) yang menaklukkan Bulgaria, Perancis dan Jerman (1393). Tahun 1402, Timur Lenk dari Mongolia menaklukkan Ankara dan Bajazet I tertawan, namun akhirnya ia dibebaskan. Bajazet I digantikan berturut-turut oleh Suleiman I (1403-1411), Musa (1411-1413), dan Mehmed Halabi/Mehmed I (1413-1421). Mehmed I digantikan Murad II. Ia menaklukkan kembali kawasan yang ditaklukkan Timur Lenk (1422-1428) dan Albania (1431).

Setelah naik tahta tahun 1451, Mehmed II bin Murad II menaklukkan Konstantinopel (1453) dan menjadikannya negara Islam. Karena itu ia dikenal sebagai Mehmed sang Penakluk. Kota Konstantinopel dijadikan ibukota kesultanan serta jadi titik tolak rencana penaklukan Eropa, setelah terhenti akibat meninggalnya Abdurrohmanul Ghofiqi di selatan Perancis. Mehmed sang Penaklukpun menundukkan Murrah, Serbia (1458-1460) dan Bosnia (1462). Ia juga menyerang Italia, Hongaria, dan Jerman. Akhirnya Thorabzun dan Krim di Asia ditundukkannya. Ia juga menaklukkan sebagian kepulauan Yunani (1480). Iapun kembali menaklukkan Jerman dan beberapa wilayah Italia, namun akhirnya mangkat sebelum berhasil menaklukkan Rhodesia.

Ia digantikan putranya Bajazet II (1481) yang berhasil mengalahkan armada laut Bunduqiyah. Kekuasaannya diserahkan pada putranya Selim I (1512) yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai sultan terbesar, mendapat kemenangan dan penaklukan yang banyak. Ia menyerang kesultanan Safavid yang dipimpin Shah Ismail I (1502-1524) yang berusaha menyebarkan mazhab Syi'ah dan mengembangkan kekuasaan Persia sampai Irak. Shah Ismail dikalahkan di Galadiran, dekat Tibriz (1514). Sultan Selim I lalu menduduki Diyarbakir dan Kurdistan yang merupakan langkah awal menaklukkan Suriah dan Mesir, seiring dengan kemenangan di Maraj Dabiq (1516) dan Roidaniyah. Saat itu khilafah Islam telah berpindah ke tangannya sesuai hukum Islam setelah Kholifah al-Mutawakkil 'Alalloh III (1508-1517) menyerahkan tampuk kekhilafahan kepadanya. Sultan Salim I resmi jadi kholifah Muslimin sejak 1517. Ia meninggal setelah 8 tahun berkuasa. Syarif Makkah juga menyerahkan kunci Makkah dan Madinah kepadanya.

Setelah itu ia digantikan Kholifah Suleiman II (1520-1566). Masa kepemimpinannya dianggap sebagai era terjaya khilafah berkat kebangkitan sains yang diikuti penemuan ilmiah dan geografis Eropa, sementara khilafah ini meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik. Ia menaklukkan Belgrado dan Gereja terbesar di sana dialihfungsikan menjadi Masjid di mana sang kholifah mendirikan sholat Jum'at (1521). Dengan alasan untuk membebaskan diri dari pasukan Ksatria Santo Yohanes (1521) ia menaklukan Rhodesia. Buda dibuka dan Raja Louis dibunuh dalam pertempuran Mouckhaz (1526). Ia menaklukkan juga Armenia dan Irak hingga armada laut kekholifahan di seluru peraran laut mulai Laut Putih, Laut Merah hingga Samudra Hindia—meski kekuatannya belum bisa mengalahkan pasukan Ksatria St. Yohanes, penguasa Malta. Kepulauan ini adalah pemberian Charles V saat diusir tentara khilafah Turki Utsmani dari Rhodesia (1522).

Tahun 1527 Austria mengakuisisi Buda, namun akhirnya Buda ditaklukkan lagi dan Austria mundur, lalu Wina dikepung tanpa berhasil ditaklukkan (1529). Tahun 1534 Tabriz ditaklukkan lagi. Tunisia dirampas dari Spanyol dan Pulau Kreta ditaklukkan (1535). Khilafahpun berdamai dengan Austria yang setuju membayar jizyah (1539). Pest (1541), Niche (1543), Spanyol (1560), Malta (1565) dan Szeged (1566) adalah sejumlah daerah yang berhasil dirampas oleh khilafah Turki Utsmani.

Para sejarawan sepakat, zaman Suleiman II ialah zaman kebesaran dan kejayaan khilafah Turki Utsmani. Hanya dalam 3 abad, kabilah kecil ini berhasil melebarkan sayapnya dari Laut Merah, Laut Tengah dan Laut Hitam. Penaklukannya terbentang dari Mekkah hingga Buda dan Pest di satu sisi dan dari Baghdad (1534) hingga al-Jazair (1532) di sisi lain. Dua pantai, utara dan selatan, Laut Hitam berada di dalam kekuasannya. Sebagian besar kerajaan Austria dan Hongaria juga termasuk wilayah kekuasaannya. Kekuasaannya sampai di Afrika Utara dari negeri Suriah sampai Maroko. Setelah Suleiman II meninggal 1566, khilafahpun terus-menerus merosot.

Keadaan Politik Menjelang Keruntuhan

Politik di sini dibagi jadi 2. Pertama politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya; mengatur mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi'ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara Islam.

Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur. Pertama, buruknya pemahaman Islam. Kedua, salah menerapkan Islam. Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549). Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab. Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi kholifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman III (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni.

Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.

Paruh kedua abad ke-16, terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua abad ke-16. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang 300 juta lira.

Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari.

Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).

Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.

Konspirasi Menghancurkan Khilafah

Di dalam negara, ahlu dzimmah-khususnya orang Kristen-yang mendapat hak istimewa zaman Suleiman II, akhirnya menuntut persamaan hak dengan muslimin. Malahan hak istimewa ini dimanfaatkan untuk melindungi provokator dan intel asing dengan jaminan perjanjian antara khilafah dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan Inggris (1580). Dengan hak istimewa ini, jumlah orang Kristen dan Yahudi meningkat di dalam negeri. Ini dimanfaatkan misionaris-yang mulai menjalankan gerakan sejak abad ke-16. Malta dipilih sebagai pusat gerakannya. Dari sana mereka menyusup ke Suriah(1620) dan tinggal di sana sampai 1773. Di tengah mundurnya intelektualitas Dunia Islam, mereka mendirikan pusat kajian sebagai kedok gerakannya. Pusat kajian ini kebanyakan milik Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, yang digunakan Barat untuk mengemban kepemimpinan intelektualnya di Dunia Islam, disertai serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini sudah lama dipersiapkan orientalis Barat, yang mendirikan Pusat Kajian Ketimuran sejak abad ke-14.

Gerakan misionaris dan orientalis itu merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasainya - meminjam istilah Imam al-Ghozali - Islam sebagai asas harus hancur, dan khilafah Islam harus runtuh. Untuk meraih tujuan pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan kedua, mereka hembuskan nasionalisme dan memberi stigma pada khilafah sebagai Orang Sakit. Agar kekuatan khilafah lumpuh, sehingga agar bisa sekali pukul jatuh, maka dilakukanlah upaya intensif untuk memisahkan Arab dengan lainnya dari khilafah. Dari sinilah, lahir gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Malah, gerakan keagamaan tak luput dari serangan, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 gerakan ini dimanfaatkan Inggris - melalui agennya Ibn Sa'ud - untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dsk, yang sebelumnya gagal dilakukan Inggris lewat gerakan kesukuan. Walau begitu, akhirnya gerakan ini bisa dibendung di beberapa wilayah oleh khilafah lewat Mehmed Ali Pasha, Gubernur Mesir yang-ternyata agen Prancis-didukung Prancis. Di Eropa, wilayah yang dikuasai khilafah diprovokasi agar memberontak (abad 19-20), seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan, sehingga khilafah Turki Utsmani kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa hanya Turki.

Nasionalisme dan separatisme telah dipropagandakan negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia. Itu bertujuan untuk menghancurkan khilafah Islam. Keberhasilannya memakai sentimen kebangsaan dan separatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorongnya memakai cara sama di seluruh wilayah khilafah. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di Arab dan Turki. Sementara itu, KeduBes Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis khilafah-seperti Baghdad, Damsyik, Beirut, Kairo, dan Jeddah-telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, dibangunlah 2 markas. Pertama, Markas Beirut, yang bertugas memainkan peranan jangka panjang, yakni mengubah putra-putri umat Islam menjadi kafir dan mengubah sistem Islam jadi sistem kufur. Kedua, Markas Istambul, bertugas memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul telak khilafah.

KeduBes negara Eropapun mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai Rofiqul 'Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum Literal dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup ke tengah orang Arab yang memperjuangkan nasionalisme. Pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan Prancis.

Di Markas Istambul, negara-negara Eropa tak hanya puas merusak putra-putri umat Islam di sekolah dan universitas lewat propaganda. Mereka ingin memukul khilafah dari dekat secara telak. Caranya ialah mengubah sistem pemerintahan dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan Barat dan hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan Rasyid Pasha, MenLu zaman Sultan Abdul Mejid II (1839). Tahun itu juga, Naskah Terhormat(Kholkhonah)-yang dijiplak dari UU di Eropa-diperkenalkan. Tahun 1855, negara-negara Eropa-khususnya Inggris-memaksa khilafah Utsmani mengamandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Naskah Hemayun (11 Februari 1855). Midhat Pasha, salah satu anggota Kebatinan Bebas diangkat jadi perdana menteri (1 September 1876). Ia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD menurut Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak Sultan Abdul Hamid II dan Sublime Port-pun enggan melaksanakannya karena dinilai bertentangan dengan syari'at. Midhat Pashapun dipecat dari kedudukan perdana menteri. Turki Muda yang berpusat di Salonika-pusat komunitas Yahudi Dunamah-memberontak (1908). Kholifah dipaksanya-yang menjalankan keputusan Konferensi Berlin-mengumumkan UUD yang diumumkan Turki Muda di Salonika, lalu dibukukanlah parlemen yang pertama dalam khilafah Turki Utsmani (17 November 1908). Bekerja sama dengan syaikhul Islam, Sultan Abdul Hamid II dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak itu sistem pemerintahan Islam berakhir.

Tampaknya Inggris belum puas menghancurkan khilafah Turki Utsmani secara total. Perang Dunia I (1914) dimanfaatkan Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanella yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha-yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan pada Perang Ana Forta (1915). Ia-agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika-melakukan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan khilafah Islam. Ia menyelenggarakan Kongres Nasional di Sivas dan menelurkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan negeri Islam lainnya dari penjajah, sekaligus melepaskannya dari wilayah Turki Utsmani. Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dll mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga merdeka. Saat itu sentimen kebangsaan tambah kental dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.

Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani

Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.

Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.

Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.

* Osman I (1281-1326; bey)
* Orhan I (1326-1359; bey)
* Murad I (1359-1389; sultan sejak 1383)
* Beyazid I (1389-1402)
* Interregnum (1402-1413)
* Mehmed I (1413-1421)
* Murad II (1421-1444) (1445-1451)
* Mehmed II (sang Penguasa) (1444-1445) (1451-1481)
* Beyazid II (1481-1512)
* Selim I (1512-1520)
* Suleiman I (yang Agung) (1520-1566)
* Selim II (1566-1574)
* Murad III (1574-1595)
* Mehmed III (1595-1603)
* Ahmed I (1603-1617)
* Mustafa I (1617-1618)
* Osman II (1618-1622)
* Mustafa I (1622-1623)
* Murad IV (1623-1640)
* Ibrahim I (1640-1648)



* Mehmed IV (1648-1687)
* Suleiman II (1687-1691)
* Ahmed II (1691-1695)
* Mustafa II (1695-1703)
* Ahmed III (1703-1730)
* Mahmud I (1730-1754)
* Osman III (1754-1757)
* Mustafa III (1757-1774)
* Abd-ul-Hamid I (1774-1789)
* Selim III (1789-1807)
* Mustafa IV (1807-1808)
* Mahmud II (1808-1839)
* Abd-ul-Mejid (1839-1861)
* Abd-ul-Aziz (1861-1876)
* Murad V (1876)
* Abd-ul-Hamid II (1876-1909)
* Mehmed V (Reşad) (1909-1918)
* Mehmed VI (Vahideddin) (1918-1922)
* Abdul Mejid II, (1922-1924; hanya sebagai Kalifah)




Ottoman empire.jpg (445 KB)

Tentang blog ini

blog ini adalah blog yang menampilkan berbagai macam tips dan trik

Teman